Minggu, 15 Maret 2015

KITA SAMA KOK !!! (Pendidikan tanpa Diskriminasi)

Pendidikan merupakan hal yang kompleks bagi kehidupan manusia dan perkembangan peradabannya. Pendidikan tidak saja memainkan peran penting dalam mencerdaskan manusia secera intelektual, tetapi juga merupakan sarana pembentukan sejati berkarakter baik, bermoral, berwawasan luas serta ‘penyetaraan’. Hal yang terakhir ini sangat jarang dibahas. Penyetaraan yang saya maksudkan di sini adalah peran pendidikan dalam memberikan kesamaan dan kesetaraan manusia dalam hal martabat dan kedudukan sosial di masyarakat. Untuk memberi pemahaman kepada teman-teman mengenai ‘penyetaraan’ yang saya maksudkan, saya mengambil sebuah contoh yang nyata, dahulu pada masa kolonial Belanda, perempuan dilarang bersekolah agar perempuan tidak bisa melawan pemerintah kolonial Belanda layaknya laki-laki. Namun, ketika Raden Ajeng Kartini berjuang untuk pendidikan kaum perempuan, maka lahirlah perjuangaan-perjuangan dari kaum wanita untuk melawan Belanda baik secara diplomatis maupun fisik (pertempuran). Di antara mereka ada Christina Martha Tiahahu, R.A Kartini dan masih banyak lagi. Di sini kita melihat bahwa pendidikan dapat memberikan penyetaraan antara kedudukan perempuan dan laki-laki.
Namun, bagaimana jika pendidikan dianggap sebagai sarana meninggikan diri bukan untuk tujuan mulia untuk memajukan bangsa ini? Inilah fenomena yang sering dihadapi dalam dunia pendidikan akhir-akhir ini. Pelaku pendidikan kadang saling tidak menghargai dan menganggap dirinya tinggi karena gelar akademik yang disandangnya atau karena jurusan/progdi pilihannya merupakan jurusan favorit. Pendidikan tidak lagi difungsikan sesuai dengan tujuan utama pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang seharusnya menjadi sarana penyetaraan umat manusia malah menjadi sarana untuk menindas dan merendahkan sesama. Orang yang bergelar tinggi tidak menghargai orang lain yang mempunyai gelar di bawahnya atau mungkin tidak bergelar akademik. Tindakan-tindakan ini kita kenal dengan istilah yang disebut DISKRIMINASI.
Sewaktu saya masih duduk di bangku SMP, saya sering merasa hak saya untuk berkembang ditindas. Tanya kenapa? Jaman itu (duh, kesannya kok saya tua sekali ya 😁), hanya anak dari orang-orang terpandang, Guru, Kepala Sekolah, dan lainnya yang diberi kesempatan untuk berkarya, mengembangkan potensi yang dimiliki, serta memiliki tempat khusus dihati para guru waktu itu. Padahal, secara kemampuan sama saja dengan kami yang bukan apa-apa (aku mah apa atuh ??? 😢). Bahkan tak jarang lebih unggul kami dibanding mereka. Pernah suatu kali ketika US, mereka yang notabene dari kalangan high-class menjiplak hasil kerja saya. Namun anehnya ketika pembagian raport, justru mereka yang menduduki peringkat 3 besar. Piye jal perasaanmu??? Awalnya saya cuek dengan problem itu. Saya selalu possitive thinking bahwa itu adalah pengaruh dari faktor luck. Namun setelah di nalar, apa mungkin ini hanya sekedar faktor luck saja? Saya hanya bisa prihatin.
Lulus SMP, pindah ke bangku MA (hijrah ke Kota Tuban). Disitu akhirnya saya bisa bebas berekspresi dan berkarya mengembangkan segala potensi yang saya punya. Bahkan tak jarang saya melakukan hal-hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, terlepas dari embel-embel high-class only. Mulai dari menulis hingga beberapa kali dimuat oleh majalah sekolah sampai koran lokal setempat, modelling, serta menjadi MC. Sungguh, hal itu terwujud satu persatu.
Dari kasus saya tersebut, dapat disimpulkan ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi diskriminasi di dunia pendidikan. Salah satunya adalah faktor lingkungan. Lingkungan. Dimana di setiap lingkungan yang berbeda mempunyai budaya serta aturan yang berbeda. Bukan berarti dilingkungan pinggiran memiliki aturan yang kuno serta tak relevan dengan keadaan saat ini. Namun lebih kepada mindset dari pendidik itu sendiri, dimana ketika seseorang berada di suatu tempat yang kurang memiliki akses untuk informasi, maka mindset yang terbentuk akan stuck ditempat. Berbeda dengan mereka yang ada di tempat yang memiliki akses informasi yang cukup. Maka mindset yang terbentuk lebih modern, ingin berkembang, serta selalu ingin ada hal yang baru.
Saya masih ingat salah satu kalimat dari Guru SMP saya. "Namanya juga anaknya guru. Pasti pintar seperti orang tuanya". Duh, sebelsekali ketika mendengar kalimat itu selalu muncul berulang kali dari mulut guru SMP saya tersebut. Sesekali pernah saya mengeluhkan kalimat tersebut kepada teman sebangku saya. Namun, ia malah menganggap saya terlalu sensitif. Menurut saya tidak seperti itu. Kalimat tersebut tak sepantasnya keluar dari mulut seorang guru karena secara tidak langsung akan mempengaruhi kondisi psikis dari muridnya yang lain, yang notabene bukan berasal dari keluarga guru dan lainnya.
Menrurut Dorothy Law, seorang pakarpsikologi terkenal masa ini, bahwa statement yang keluar dari mulut orang-orang terdekat sorang siswa seperti teman, guru dan orang tua, sangat mempengaruhi kejiwaan dan keberhasilan siswa, sehingga kata-kata yang keluar harusnya kata-kata yang membangun bukan MENJATUHKAN atau MENGHINA. Itu malah akan membentuk siswa menjadi nakal, bahkan brutal. Menurut Dorothy Law, tindakan-tindakan yang membagi-bagi kasih sayang bagi siswa itu merupakan diskriminasi. Malah secara psikologi, tindakan itu tergolong kajahatan karena merusak karakter dan masa depan siswa. Guru yang adalah pembentuk karakter dan fasilitator dalam dunia pendidikan TIDAK PANTAS melakukan tindakan diskrimatif tersebut.
Siapa yang tak kenal Bpk.Jokowi, orang No.1 di Indonesia? Siapa yang tak kenal dengan Bapak Dahlan Iskan, mantan Menteri BUMN dan pengusaha sukses yang low provile? Siapa yang tak kenal dengan Alm.Bob Sadino, pengusaha sukses Indonesia yang bersahaja? Siapa tak kenal Olga Syahputra, artis multitalenta yang inspiratif? Siapa mereka dulunya? Mereka bukanlah siapa-siapa, DULU. DULU SEKALI. Tapi lihat kesuksesan mereka sekarang. Mereka mampu membuktikan bahwa mereka adalah berlian yang muncul dari padang pasir. Hal ini menunjukkan bahwa kita memiliki potensi yang sama dengan lainnya. Mau anak konglomerat, anak pengusaha, anak kepala sekolah, anak pejabat, anak guru, KITA SAMA! 
Saya rasa jangan ada lagi diskriminasi dalam dunia pendidikan. Merubah pandangan akan tujuan pendidikan yang sebenarnya. Pendidikan itu untuk kesetaraan bukan penindasan. Hal-hal berbau diskriminatif dalam dunia pendidikan tidak selayaknya dipertahankan dan dibiarkan membudaya. Hendaknya pelaku pendidikan jangan hanya menjadi penonton, namun giat dan untuk sebuah reformasi dalam diri sendiri dan bagi lingkungan kita masing-masing. Maju dunia pendidikan Indonesia. Stop diskriminasi dunia pendidikan.!!!

Referensi:
https://praingfamily.wordpress.com/artikel/budaya/diskriminasi-dalam-dunia-pendidikan/
www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaminggu&kid=13&id=26129
https://willyediyanto.wordpress.com/2013/01/01/diskriminasi-dalam-pendidikan/
http://www.ajnn.net/2013/11/15-bentuk-diskriminasi-sekolah-terhadap-siswa-versi-kpai/
http://seputargunadarmauniversity.blogspot.in/2015/01/diskriminasi-dalam-dunia-pendidikan-di.html?m=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar