Selasa, 31 Maret 2015

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PERKANTORAN

Kata teknologi berasal dari bahasa Perancis, La Teknique yang artinya semua proses yang dilaksanakan dalam upaya untuk mewujudkan sesuatu secara rasional. Teknologi adalah keseluruhan sarana untuk menyediakan barang – barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia.
Kantor adalah suatu unit organisasi yang terdiri dari tempat, personel, dan operasi ketatausahaan untuk membantu pimpinan. Yang dimaksud tempat adalah ruangan, gedung, kompleks, serta perabot dan perlengkapannya, seperti mesin – mesin kantor dan perlengkapan lainnya yang mendukung aktivitas kerja.
Teknologi perkantoran adalah teknologi yang diaplikasikan dalam kegiatan perkantoran yaitu digunakan untuk mencatat, menghimpun, mengolah, memperbanyak, mengirim, dan menyimpan bahan – bahan keterangan secara efisien dengan menggunakan mesin – mesin kantor.
Secara kasat mata,  tujuan dari pengembangan teknologi perkantoran adalah untuk memudahkan segala aktivitas yang ada    di kantor atau perusahaan itu sendiri. Dengan segala fasilitas beserta kecanggihannya, pekerjaan dalam kantor atau perusahaan semakin dimudahkan serta lebih maksimal dan efisien.

Dampak Teknologi Perkantoran
Dampak Positif
1. Terhadap Ketenagakerjaan
• Peningkatan mutu tenaga kerja.
• Meningkatkan kegairahan dan kedisplinan kerja.
• Meningkatkan penghasilan bagi tenaga kerja.
• Meringankan tenaga dan pikiran pegawai.
2. Terhadap Prosedur Kerja
• Mempercepat penyelesaian pekerjaan.
• Menyederhanakan prosedur kerja / memperpendek mata rantai penyelesaian pekerjaan.
• Memperlancar pekerjaan.
• Mempermudah penyelesaian pekerjaan.
3. Terhadap Hasil Kerja
• Meningkatkan mutu hasil pekerjaan kantor.
• Mempertinggi jumlah hasil pekerjaan.
• Memenuhi standar mutu tertentu.
• Memperoleh keseragaman bentuk, ukuran, dan jenis pekerjaan.
Dampak Negatif
Dampak negatif perkembangan teknologi perkantoran pada umumnya dirasakan sekali, terutama yang menyangkut ketenagakerjaan dan penambahan biaya, yaitu sebagai berikut:
• Mengurangi penggunaan tenaga kerja dan berakibatmenambah pengangguran.
• Kesulitan untuk mencari tenaga kerja yang memiliki tingkat keterampilan tertentu.
• Menimbulkan rasa ketergantungan kepada mesin yang sulit akan menimbulkan pemborosan.
• Dapat menimbulkan suara gaduh sehingga mengganggu pegawai lainnya.
• Penggunaan mesin tertentu dapat memerlukan sarana penunjang lainnya yang memerlukan biaya.

Pada dasarnya, perkembangan teknologi memiliki berbagai dampak pada aktivitas perkantoran. Entah itu dampakpositif maupun dampak negatif. Kita sebagai manusia hendaknya bersikap bijak dalam menanggapi hal tersebut.

Sumber Referensi:
Edwar, Muhammad. 2010. Teknologi Perkantoran. Surabaya: UNESA University Press

Minggu, 15 Maret 2015

KITA SAMA KOK !!! (Pendidikan tanpa Diskriminasi)

Pendidikan merupakan hal yang kompleks bagi kehidupan manusia dan perkembangan peradabannya. Pendidikan tidak saja memainkan peran penting dalam mencerdaskan manusia secera intelektual, tetapi juga merupakan sarana pembentukan sejati berkarakter baik, bermoral, berwawasan luas serta ‘penyetaraan’. Hal yang terakhir ini sangat jarang dibahas. Penyetaraan yang saya maksudkan di sini adalah peran pendidikan dalam memberikan kesamaan dan kesetaraan manusia dalam hal martabat dan kedudukan sosial di masyarakat. Untuk memberi pemahaman kepada teman-teman mengenai ‘penyetaraan’ yang saya maksudkan, saya mengambil sebuah contoh yang nyata, dahulu pada masa kolonial Belanda, perempuan dilarang bersekolah agar perempuan tidak bisa melawan pemerintah kolonial Belanda layaknya laki-laki. Namun, ketika Raden Ajeng Kartini berjuang untuk pendidikan kaum perempuan, maka lahirlah perjuangaan-perjuangan dari kaum wanita untuk melawan Belanda baik secara diplomatis maupun fisik (pertempuran). Di antara mereka ada Christina Martha Tiahahu, R.A Kartini dan masih banyak lagi. Di sini kita melihat bahwa pendidikan dapat memberikan penyetaraan antara kedudukan perempuan dan laki-laki.
Namun, bagaimana jika pendidikan dianggap sebagai sarana meninggikan diri bukan untuk tujuan mulia untuk memajukan bangsa ini? Inilah fenomena yang sering dihadapi dalam dunia pendidikan akhir-akhir ini. Pelaku pendidikan kadang saling tidak menghargai dan menganggap dirinya tinggi karena gelar akademik yang disandangnya atau karena jurusan/progdi pilihannya merupakan jurusan favorit. Pendidikan tidak lagi difungsikan sesuai dengan tujuan utama pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang seharusnya menjadi sarana penyetaraan umat manusia malah menjadi sarana untuk menindas dan merendahkan sesama. Orang yang bergelar tinggi tidak menghargai orang lain yang mempunyai gelar di bawahnya atau mungkin tidak bergelar akademik. Tindakan-tindakan ini kita kenal dengan istilah yang disebut DISKRIMINASI.
Sewaktu saya masih duduk di bangku SMP, saya sering merasa hak saya untuk berkembang ditindas. Tanya kenapa? Jaman itu (duh, kesannya kok saya tua sekali ya 😁), hanya anak dari orang-orang terpandang, Guru, Kepala Sekolah, dan lainnya yang diberi kesempatan untuk berkarya, mengembangkan potensi yang dimiliki, serta memiliki tempat khusus dihati para guru waktu itu. Padahal, secara kemampuan sama saja dengan kami yang bukan apa-apa (aku mah apa atuh ??? 😢). Bahkan tak jarang lebih unggul kami dibanding mereka. Pernah suatu kali ketika US, mereka yang notabene dari kalangan high-class menjiplak hasil kerja saya. Namun anehnya ketika pembagian raport, justru mereka yang menduduki peringkat 3 besar. Piye jal perasaanmu??? Awalnya saya cuek dengan problem itu. Saya selalu possitive thinking bahwa itu adalah pengaruh dari faktor luck. Namun setelah di nalar, apa mungkin ini hanya sekedar faktor luck saja? Saya hanya bisa prihatin.
Lulus SMP, pindah ke bangku MA (hijrah ke Kota Tuban). Disitu akhirnya saya bisa bebas berekspresi dan berkarya mengembangkan segala potensi yang saya punya. Bahkan tak jarang saya melakukan hal-hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, terlepas dari embel-embel high-class only. Mulai dari menulis hingga beberapa kali dimuat oleh majalah sekolah sampai koran lokal setempat, modelling, serta menjadi MC. Sungguh, hal itu terwujud satu persatu.
Dari kasus saya tersebut, dapat disimpulkan ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi diskriminasi di dunia pendidikan. Salah satunya adalah faktor lingkungan. Lingkungan. Dimana di setiap lingkungan yang berbeda mempunyai budaya serta aturan yang berbeda. Bukan berarti dilingkungan pinggiran memiliki aturan yang kuno serta tak relevan dengan keadaan saat ini. Namun lebih kepada mindset dari pendidik itu sendiri, dimana ketika seseorang berada di suatu tempat yang kurang memiliki akses untuk informasi, maka mindset yang terbentuk akan stuck ditempat. Berbeda dengan mereka yang ada di tempat yang memiliki akses informasi yang cukup. Maka mindset yang terbentuk lebih modern, ingin berkembang, serta selalu ingin ada hal yang baru.
Saya masih ingat salah satu kalimat dari Guru SMP saya. "Namanya juga anaknya guru. Pasti pintar seperti orang tuanya". Duh, sebelsekali ketika mendengar kalimat itu selalu muncul berulang kali dari mulut guru SMP saya tersebut. Sesekali pernah saya mengeluhkan kalimat tersebut kepada teman sebangku saya. Namun, ia malah menganggap saya terlalu sensitif. Menurut saya tidak seperti itu. Kalimat tersebut tak sepantasnya keluar dari mulut seorang guru karena secara tidak langsung akan mempengaruhi kondisi psikis dari muridnya yang lain, yang notabene bukan berasal dari keluarga guru dan lainnya.
Menrurut Dorothy Law, seorang pakarpsikologi terkenal masa ini, bahwa statement yang keluar dari mulut orang-orang terdekat sorang siswa seperti teman, guru dan orang tua, sangat mempengaruhi kejiwaan dan keberhasilan siswa, sehingga kata-kata yang keluar harusnya kata-kata yang membangun bukan MENJATUHKAN atau MENGHINA. Itu malah akan membentuk siswa menjadi nakal, bahkan brutal. Menurut Dorothy Law, tindakan-tindakan yang membagi-bagi kasih sayang bagi siswa itu merupakan diskriminasi. Malah secara psikologi, tindakan itu tergolong kajahatan karena merusak karakter dan masa depan siswa. Guru yang adalah pembentuk karakter dan fasilitator dalam dunia pendidikan TIDAK PANTAS melakukan tindakan diskrimatif tersebut.
Siapa yang tak kenal Bpk.Jokowi, orang No.1 di Indonesia? Siapa yang tak kenal dengan Bapak Dahlan Iskan, mantan Menteri BUMN dan pengusaha sukses yang low provile? Siapa yang tak kenal dengan Alm.Bob Sadino, pengusaha sukses Indonesia yang bersahaja? Siapa tak kenal Olga Syahputra, artis multitalenta yang inspiratif? Siapa mereka dulunya? Mereka bukanlah siapa-siapa, DULU. DULU SEKALI. Tapi lihat kesuksesan mereka sekarang. Mereka mampu membuktikan bahwa mereka adalah berlian yang muncul dari padang pasir. Hal ini menunjukkan bahwa kita memiliki potensi yang sama dengan lainnya. Mau anak konglomerat, anak pengusaha, anak kepala sekolah, anak pejabat, anak guru, KITA SAMA! 
Saya rasa jangan ada lagi diskriminasi dalam dunia pendidikan. Merubah pandangan akan tujuan pendidikan yang sebenarnya. Pendidikan itu untuk kesetaraan bukan penindasan. Hal-hal berbau diskriminatif dalam dunia pendidikan tidak selayaknya dipertahankan dan dibiarkan membudaya. Hendaknya pelaku pendidikan jangan hanya menjadi penonton, namun giat dan untuk sebuah reformasi dalam diri sendiri dan bagi lingkungan kita masing-masing. Maju dunia pendidikan Indonesia. Stop diskriminasi dunia pendidikan.!!!

Referensi:
https://praingfamily.wordpress.com/artikel/budaya/diskriminasi-dalam-dunia-pendidikan/
www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaminggu&kid=13&id=26129
https://willyediyanto.wordpress.com/2013/01/01/diskriminasi-dalam-pendidikan/
http://www.ajnn.net/2013/11/15-bentuk-diskriminasi-sekolah-terhadap-siswa-versi-kpai/
http://seputargunadarmauniversity.blogspot.in/2015/01/diskriminasi-dalam-dunia-pendidikan-di.html?m=1

Jumat, 13 Maret 2015

DI BALIK KRISIS MINAT BACA MASYARAKAT

Assalamualaikum gengs ...
Kali ini saya mencoba memposting hasil karya saya sewaktu masih duduk dibangku Madrasah, dimana poni lempar Andika-KangenBand masih happpening :D Saya sendiri masih nggak percaya, waktu itu bisa nulis artikel dengan bobot kata berat yang "enggak gue banget"... Dan yang bikin nggak percaya lagi, waktu presentasi saya tidak memakai slide show seperti peserta lain tapi bisa dapet Juara. Hehehehe :D



DIBALIK KRISIS MINAT BACA MASYARAKAT
Oleh ; Kurniawan Novianto
Siswa MA Ash-Shonadiyah Tuban
(Juara Harapan I Lomba Artikel Ilmiah tk SMA se-Kabupaten Tuban)

Mungkin kita tidak menyadari bahwa tanggal 17 Mei lalu diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Memang momentum tersebut kalah pamor jika dibandingkan dengan momentum lainnya seperti Hari Ulang Tahun RI (17 Agustus), Hari Pendidikan Nasional (2 Mei), Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei), Hari Kartini (21 April) dan lain sebagainya. Hal itu disebabkan karena kurangnya aktivitas yang terkait dengannya seperti membaca atau menulis di kalangan masyarakat. Ada salah satu ungkapan yang sering kita dengar. Yakni, “Buku adalah Gudang Ilmu”. Sepintas, ungkapan tersebut terkesan sederhana dan simple, akan tetapi memiliki makna yang sangat penting didalamnya.
Bagi umat Islam, tentunya kita sudah tidak asing lagi dengan kisah turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW. Kata pertama yang disampaikan oleh Malaikat Jibril adalah “ Iqro” yang artinya baca atau bacalah, sebagaimana tertuang dalam QS Al-Alaq ayat 1-5. Yakni, “Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. ” Dengan begitu, berkat membaca kelak kita bisa lebih mengenal Allah SWT. Tak hanya itu, kita juga bisa mengenal alam semesta dan diri sendiri. Hal ini berarti bahwa Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk membaca. Jadi, membaca hukumnya bisa menjadi fardhu ain (wajib). Hanya saja, dalam realitasnya aktivitas tersebut tidak mudah untuk diwujudkan. Apa maksudnya?
Dari data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2006. Bahwa, masyarakat kita belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Orang lebih memilih menonton TV (85,9%) dan/atau mendengarkan radio (40,3%) ketimbang membaca koran (23,5%) (www.bps.go.id ). Data lainnya, misalnya International Association for Evaluation of Educational (IAEE). Tahun 1992, IAEE melakukan riset tentang kemampuan membaca murid-murid sekolah dasar (SD) kelas IV 30 negara di dunia. Kesimpulan dari riset tersebut menyebutkan bahwa Indonesia menempatkan urutan ke-2 kategori miskin minat baca. Angka-angka itu menggambarkan betapa rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak SD. Padahal, jika dikaitkan dengan perintah Allah SWT tadi, seharusnya bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam mampu melakukan aktivitas membaca tadi sebagai kebiasaan. Namun sampai sekarang masih banyak kita jumpai bangsa Indonesia yang buta aksara.
Dalam buku yang berjudul “Bung Karno Bapakku, Sahabatku, Guruku, & Pemimpinku”, disebutkan bahwa minat baca generasi muda sekarang ini jauh lebih buruk dari generasi Bung Karno. Ketika beliau diasingkan di Sukamiskin, hari-harinya selalu diisi dengan membaca, dan menulis. Ketika beliau hendak menulis, ia mengangkat bak yang ada dibawah kolong tempat tidurnya lalu dibaliknya dan digunakan sebagai pengganti meja. Hingga pada akhirnya lahirlah buku berjudul “ Indonesia Menggugat”. Sampai sekarang ada sekitar kurang lebih 2400 buku yang tersimpan di perpustakaan pribadi beliau di Blitar (satu komplek dengan makam Bung Karno). Kesemuanya adalah hasil karangannya sendiri. Sedangkan kita?
Ada banyak sekali faktor yang mempengaruhi minat baca bangsa Indonesia. Pertama, karena dampak dari kemajuan teknologi dan globalisasi. Salah satu cirinya adalah, dari weight menjadi speed . Dulu, kualitas suatu benda dinilai dari beratnya. Akan tetapi, sekarang benda dinilai dari kecepatannya. Maksudnya cepat dalam menyampaikan informasi dan berkomunikasi. Hal tersebut juga ditandai dengan melokalnya sesuatu yang berasal dari luar (baca: Globalisasi). Dijaman yang serba global ini, yang dibutuhkan adalah benda yang praktis. Harap maklum, karena masyarakat Indonesia memang sangat terbuka ( opened), serta tidak kritis dalam menerima segala sesuatu yang terjadi.
Kedua, ketiadaan sarana dan prasarana yang memadai. Apalagi bagi kalangan menengah kebawah. Bisa dibayangkan aktivitas tersebut tanpa adanya sarana dan prasarana yang bermutu. Dengan kata lain, ketersediaan bahan bacaan yang memadai dan bermutu akan menarik minat masyarakat untuk semakin cinta membaca. Implikasinya, diharapkan tingkat kecerdasan masyarakat kian meningkat. Perkembangan minat baca juga harus diimbangi dengan ketersediaan dan kemudahan akses buku dan ragam bacaan lainnya. Jika tidak, minat baca tersebut akan kembali lagi ke titik nol. Pemerintah lewat salah satu institusinya yang bernama perpustakaan harus berupaya untuk memberikan kemudahan dan ketersediaan akses dalam lingkup masyarakat umum dan sekolah. Semakin besar peluang masyarakat untuk membaca melalui fasilitas yang tersebar, semakin besar pula stimulasi membaca sesama warga masyarakat.
Ketiga, rendahnya kesadaran masyarakat Indonesia akan arti penting dari membaca sejak dini. Padahal, jika kita ingin mencetak kader yang berkualitas, maka tradisi ilmiah seperti membaca dan menulis harus dibiasakan sejak dini. Bahkan kita dianjurkan untuk memperkenalkan aktivitas membaca sejak usia 0–2 tahun. Apa pasal? Sebab, pada masa 0-2 tahun inilah perkembangan otak anak amat pesat (80% kapasitas otak manusia dibentuk pada periode dua tahun pertama) dan reseptif (mudah untuk menyerap apa saja dengan memori yang masih kuat). Ada satu fakta yang seringkali masyarakat lupa, bahwa kepekaan dan variasi kebutuhan informasi di masyarakat itulah yang menyebabkan keberhasilan berbagai macam bacaan. Minat baca tergantung pada bagaimana masyarakat menganggap penting tidaknya dari informasi yang akan ia dapat dari bacaan tersebut. Sekaligus kemampuan memilih dan memilah informasi yang akan dikonsumsi. Karena pada dasarnya, media teks apapun itu merupakan kemasan/ bentukan luar informasi saja.
Dengan demikian, pamrih meningkatkan budaya membaca berbanding lurus dengan bagaimana memberi kesadaran tentang pentingnya informasi yang akan mereka dapat. Persepsi tentang informasi tersebut juga merupakan faktor penentu mengapa orang malas atau rajin membaca. Sejauh informasi dianggap tidak penting, maka sejauh itu pula minat baca tetap jeblok.
Bagaimana dengan masyarakat yang berada di daerah yang terpencil? Minat baca dapat ditanamkan dibangku pendidikan yaitu sekolah, baik dari tingkat dasar maupun sampai ke perguruan tinggi (kalau ada). Siswa dibiasakan untuk gemar membaca. Namun, kendala lain yang dirasa masih berat oleh masyarakat pedesaan adalah mahalnya biaya pendidikan itu sendiri. Mereka selalu mengeluh tidak dapat menyekolahkan anaknya karena tidak mempunyai biaya yang cukup. Mereka merasa sangat terbebani dengan biaya yang bermacam-macam itu. Jeratan inilah yang akhirnya membuat para orang tua/ wali murid menjadi berfikir secara tidak rasional. Dalam buku yang berjudul “ Pendidikan Rusak-Rusakan ” karya Darmaningtyas, bahwa kesalahan pemerintah terdapat pada peletakan dana untuk sekolah. Sekolah negeri yang mayoritas dihuni oleh kalangan menengah ke atas, biaya sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah. Sedangkan sekolah swasta, biaya ditanggung oleh orang tua/ wali murid itu sendiri. Lembaga pendidikan telah kehilangan ruh dari pendidikan itu sendiri. Lembaga pendidikan tak jauh berbeda dengan pasar swalayan. Pembeli bisa mengambil barang apapun yang mereka suka hanya dengan berbekal uang. Jadi, hanya yang mempunyai uang saja yang boleh sekolah. Apakah ini adil? Bagaimana bisa meningkatkan minat baca, jika masih ada diskriminasi antara si kaya dan si miskin. Kesenjangan sosial dirasa masih sangat besar. Lalu, dimana peran pemerintah selama ini?
Untuk menghadapi situasi seperti ini, pemerintah bisa mengadakan program sosialisasi budaya membaca, pameran-pameran buku, lomba penulisan dan penghargaan terhadap masyarakat untuk memacu potensi diri dengan membaca Jadi bagi seseorang yang berkeinginan mengembangkan kemampuan potensi diri dalam berkarya dapat dilakukan dengan membaca buku-buku gratis diperpustakaan. Program membaca ini memang akan memegang peranan penting bagi bangsa Indonesia. Diharapkan melalui budaya membaca akan dapat membantu pemerintah dalam mencetak insan yang berkualitas secara emosional dan intelektual, terutama dalam bidang pengetahuan
Sedangkan ditingkat sekolah, rendahnya minat baca dapat diatasi dengan perbaikan sarana & prasarana yang ada. Seluruh warga sekolah seharusnya ikut bertanggung jawab atas kondisi perpustakaan yang selama ini cenderung memprihatinkan. Padahal, perpustakaan merupakan salah satu tempat dimana siswa mencari sumber-sumber informasi. Sehingga siswa merasa nyaman untuk berlama-lama di perpustakaan.
Di kota – kota besar seperti Jakarta, beberapa kaum dermawan yang peduli akan rendahnya minat baca, memberikan sumbangan dengan adanya perpustakaan keliling dengan menggunakan mobil. Tentu saja aktivitas ini sangat membantu dalam menggalakkan gerakan “Mari Membaca” , akan tetapi jumlahnya masih minim dibandingkan dengan banyaknya kebutuhan. Dan tentunya peran Pemerintah Daerah disini sangat besar untuk memacu hal tersebut dapat terjadi. Dapat dibayangkan seandainya hal tersebut terjadi, maka sedikit demi sedikit masalah – masalah sosial akan dapat diatasi. Misalnya saja dalam bidang pertanian, jika perpustakaan keliling menyediakan buku – buku tentang teknik pertanian yang baik, dan bermutu akan meningkatkan pola berfikir para petani sehingga sedikit demi sedikit pembaharuan pertanian yang semula hanya tradisionalis menjadi lebih modern, contoh nyata yang bisa dilihat adalah pertanian dengan sistem hidroponik dalam penanaman sayuran dan buah.
Dalam bidang lain dapat kita lihat juga bidang wiraswasta, tidak dapat dipungkiri masalah sosial saat ini yang terjadi di masyarakat adalah banyaknya pengangguran terdidik. Hal tersebut terjadi karena tidak adanya keseimbangan antara jumlah tenaga kerja produktif dengan jumlah peluang kerja. Dengan disediakannya buku – buku yang memuat tentang wira usaha melalui perpustakaan keliling, tentu akan sangat membantu menumbuhkan ide – ide kreatif yang membangun, sehingga terciptalah produk – produk yang kompetitif. Misalkan saja mengenai pemanfaatan limbah usaha konveksi, limbah tempurung kelapa, dan lain sebagainya. Tidak dapat dipungkiri banyak manfaat yang didapat dari kegiatan membaca, dengan membaca kebodohan akan terkikis dan akan menjauhkan dari kemiskinan yang selama ini menjadi masalah yang belum bisa diatasi di Negara kita tercinta ini.
Tentunya merupakan impian terbesar jika bangsa kita ini terbebas dari jerat masalah perekonomian yaitu kemiskinan, untuk itulah salah satu cara yang dapat dipakai adalah dengan memupuk dan melestarikan kegiatan membaca dalam masyarakat. Dalam hal ini secara garis besar untuk meningkatkan minat baca dapat kita simpulkan sebagai berikut :
  • danya dukungan dari pihak penyedia sarana dan prasarana dalam hal ini adalah pemerintah, untuk memberikan dukungan berupa pengadaan perpustakaan umum dan perpustakaan keliling yang mudah dijangkau oleh masyarakat.
  • Tiap keluarga dianjurkan untuk memiliki perpustakaan keluarga, sehingga perpustakaan dapat dijadikan sebagai tempat yang menyenangkan ketika berkumpul bersama. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah dukungan dari masyarakat terkecil yaitu keluarga untuk menanamkan kegiatan membaca sejak dini.
  • Di sekolah diadakan perbaikan fasilitas sarana perpustakaan sekolah dengan menambah jumlah buku yang berkualitas danmemadai. Dengan kata lain ketersediaan bahan bacaan memungkinkan tiap orang dan / atau anak – anak untuk memilih apa yang sesuai dengan minat dan kepentingannya.
  • Pemerintah seyogyanya bisa mengusahakan agar harga buku yang berkualitas tersebut dapat dijangkau oleh semua golongan. Sehingga masyarakat kurang mampu yang gemar membaca bisa mendapatkan buku yang ia pilih untuk mengeksplorasi minat dan bakatnya

Pada intinya, perpustakaan harus fokus dalam pemberian solusi dalam 3 bidang penting yang saling berkaitan yaitu transformasi informasi, mengembangkan inovasi layanan, dan membuka ruang bagi perkembangan teknologi informasi. Tidak perlu slogan atau memasang spanduk besar dan yang semacamnya hanya untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Cukup dimulai dari diri kita sendiri. Diharapkan melalui budaya membaca akan dapat membantu pemerintah dalam mencetak insan yang berkualitas secara emosional dan intelektual, terutama dalam pengetahuan.
BANYAK BACA BANYAK TAHU, BANYAK TAHU BANYAK ILMU, BANYAK ILMU PASTI MAJU